Wednesday, November 9, 2011

Meneladani Syaikh Thaha Hibisyi

Lelaki tua itu masih tegak berdiri. Tongkat di depannya digenggam kuat-kuat. Suaranya melengking, penuh semangat. Taburan uban putih yang mengelilingi rambutnya tidak menghalangi semangatnya untuk terus menyeru. “Inilah Al-Quran kalian. Bawalah Al-Quran ini ke negeri kalian ketika kalian pulang nanti.” Suaranya mulai parau. Tetesan bening hampir jatuh dari pelupuk matanya. Tapi dia cegah. Kedua tangannya dengan cepat menghapus butiran bening itu sebelum jatuh membasahi pipinya yang tampak sudah kendur.



“Kalian adalah aset negara dan agama. Kalian lah yang akan membawa Islam ke negara kalian masing-masing.” Dia masih melanjutkan khutbahnya. Bukan dengan suara lembut seperti khutbah orang-orang seumurannya. Suaranya justru melengking menabuh-nabuh gendang telinga. Semua hadirin terpana. Khubah Jumat yang biasanya menjadi tempat tidur alternatif tidak tampak hari ini. Semua mata terjaga. Telinga mereka terbuka mendengarkan kalimat demi kalimatnya. Hati mereka terlecut. Ada aliran semangat yang merambat memenuhi ruang hati mereka. Khutbah yang disampaikan oleh lekaki tua itu benar-benar seperti hujan deras yang menyirami tanaman hati para jamaah. Mereka ibarat terlahir kembali dari kematian sosial (al-maut al-ijtima’i) seperti isi yang disampaikan oleh lelaki tua itu dalam khutbahnya.

Suara itu tak asing di telingaku. Saya teringat, terakhir saya mendengarnya adalah seminggu sebelum ujian temin I lalu. Saat itu, di sebuah ruang pertemuan di Asrama Madinat el-Buus dia juga menyapaikan ceramah. Tema yang dia sampaikan tak jauh dari spesialisasi yang ia ajarkan di Universitas al-Azhar. Malam itu, dia meyampaikan materi tentang “Memahami Makna Bidah”. Menurutnya terma tentang bidah memang harus diluruskan. Saat ini banyak kalangan yang salah dalam memahami istilah ini, sehingga segala apa yang tidak ditemukan dalam kehidupan Rasulullah dianggap bidah dan akan menyeret pelakunya ke neraka. Bagi mereka, pengumpulan al-Quran (jam’ul Quran) atau pemberlakuan adzan Jumat dua kali yang dilakukan oleh Utsman bin Affan Ra. adalah termasuk bidah, karena Rasul tidak pernah mengerjakannya.

Lelaki tua itu adalah Syeikh Thaha Dasuqi Hibisyi. Itu jabatan relegiusnya. Kalau mau title akademis dia adalah Prof. Dr. Thaha Dasuqi Hibisyi. Dilahirkan di sebuah desa di provinsi Dimyat, dia merupakan salah satu penjaga darah keturunan Nabi Muhammad dari silsilah Fahimah az-Zahra. Kakeknya adalah seorang Yaman yang kemudian hijrah ke Dimyat, Mesir untuk mencari penghidupan. Dari kakeknya inilah kemudian tersebar keluarga Hibisyi yang banyak terdapat di sekitaran Kairo dan Giza.

Bagi para mahasiswa Al-Azhar, terutama mereka yang memilih Fakultas Ushuluddin, nama Syeikh Hibisyi tentu sudah tidak asing lagi. Sejak tahun pertama, buku-buku tulisannya sudah banyak dijadikan diktat kuliah. Spesialis Aqidah dan Filsafat Islam ini juga masih setia menjadi Ketua Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam Universitas al-Azhar.

Seperti para cendekiawan Al-Azhar lain, Syeikh al-Hibisyi adalah seorang ulama dan intelek sekaligus. Keluasan ilmunya di bidang filsafat dan teologi menjadikannya sebagai seorang intelek yang diperhitungkan. Di samping itu, pengetahuannya yang mumpuni di bidang syariah dan ilmu-ilmu keislaman lain menjadikannya sangat layak disebut sebagai seorang syeikh. Dia akan menjadi “rasionalis” ketika berdebat dengan kaum rasionalis dalam menerangkan materi filsafat dan akidah; menjadi faqih ketika menjelaskan tentang hukum fiqih dan problematika ijtihad; menjadi mufassir ketika menerangkan kandungan makna ayat-ayat al-Quran; dan menjadi seorang muhaddits ketika berbicara tentang hadist.

Sampai saat ini, saya balum menemukan biografi lengkapnya. Baik di buku-buku karangannya maupun di situs pribadinya. Namun yang pasti, kepribadiannya yang ikhlas telah melahirkan kekaguman tersendiri dalam diri saya terhadapnya. Perhatiannya terhadap pembinaan para generasi muda benar-benar tulus. Bayangkan saja, setiap minggu sekali, ia rela datang ke asrama Madinah al-Buus untuk mengisi talaqqi tentang akidah padalah ia tak bisa berjalan sendiri. Kedua matanya yang sudah mulai terganngu membuatnya harus dituntun ketika berjalan. Namun kondisi itu tidak menyurutkannya untuk terus menebar benih-benih kebaikan. Syeikh Hibisyi sepertinya sangat paham bahwa di asrama inilah bibit-bibit cendekiawan Muslim ditempa. Ia mengerti betul bahwa para mahasiswa inilah yang akan menyebarkan pemikiran Islam moderat ke seluruh penjuru dunia.

“Saya sangat kasihan dengan teman-teman kalian yang menganut paham salafi,” ujarnya dua bulan yang lalu dengan suara berat. Sepertinya ada tekanan batin ketika melihat beberapa mahasiswa didikan al-Azhar justru tak segan-segan menghantam Al-Azhar. “Coba kalian ajak dialog teman kalian yang berpaham salafi. Saya yakin mereka banyak tidak faham aliran yang mereka ikuti,” lanjutnya.

Syeikh Hibisyi memang terkenal frontal terhadap paham Salafi. Dalam kuliah-kuliahnya, ia sering mengkritik pemahaman yang –katanya—merujuk kepada Imam Ibnu Taimiyah dan Imam Ahmad Ibn Hanbal ini. Seperti para ulama Al-Azhar lainnya, pemahaman para salafi yang dengan mudah mengkafirkan sesama muslim menjadi objek kritik paling utama. Bahkan menurut Yusuf al-Qaradhawi, para salafi itu sebenarnya tidak banyak tahu terhadap pemahaman Ibnu Taimiyah dan Imam Ahmad bin Hanbal yang menjadi rujukan utama mereka.

Menurut Yusuf al-Qaradhawi, Ibnu Taimiyah dan Ibnu Hanbal adalah sosok-sosok cendekiawan muslim yang sangat toleran. Imam Ibnu Taimiyah misalnya, tidak mengkafirkan orang yang jelas-jelas melakukan bidah selama dia masih mempercayai kenabian Muhammad dan mengimani apa yang dibawa oleh beliau. Pemikiran Ibnu Taimiyah ini berdasarkan pada pandangan para sahabat yang tidak mengkafirkan khawarij walaupun mereka jelas-jelas banyak melakukan bidah, hingga membunuh Khalifah Ali bin Abi Thalib Ra. (Lihat Yusuf al-Qaradhawi, Kaifa Nata’amal ma’a at-Turats, Maktabah Wahbah).

Inilah salah satu hal yang membuat Syeikh Thaha Hibisyi gelisah. Yang sering mengikuti kuliah-kuliahnya tentu tahu bagaimana posisi Syeikh Habisyi terhadap gerakan yang disebut Muhammad Imarah sebagai “ar-rafdh al-Islami” ini. Ia bersikap frontal bukan berarti benci. Justru ia prihatin dengan mereka yang mencantumkan nama salaf –generasi paling agung dalam sejarah peradaban umat manusia—tetapi tidak mencerminkan nama yang mereka pakai. “Ajaklah teman-teman kalian yang berpaham salafi untuk mengikuti kuliah saya, bair kita bisa berdiskusi dan mereka juga wawasannya terbuka,” tuturnya di akhir kuliah mingguan di Madinah al-Buus beberapa bulan lalu.

Tak hanya Salafi, Muktazilah dan para rasionalis juga tak lepas dari kritiknya. Dalam buku al-Janib al-Ilahi fi Fikril Imam al-Ghazali, ia tak segan-segan menghantam Muktazilah yang sering tidak konsisten dengan keyakinan mereka sendiri. Dalam masalah rukyatullah misalnya, Mu’tazilah yang biasanya mengkritik golongan Mujassamah karena menyerupakan Allah dengan jism, justru terperangkap dalam tajsim dan tasybih. Dalam penggunaan dalil naqli bahkan Muktazilah seakan beranggapan mereka lebih tahu daripada Nabi Musa yang meminta untuk bisa melihat Allah. Menurut Muktazilah Nabi Musa meminta agar bisa melihat Allah karena beliau tidak tahu jika rukyatullah itu mengakibatkan tajsim dan pentapan jihah bagi Allah. Padahal Allah tidak mungkin berada dalam sebuah arah dan tidak mungkin mujassam. Sedangkan Muktazilah meyakini kemustahilan rukyatullah karena mereka tahu bahwa rukyatullah itu mengakibatkan tajsim dan penetapan jihah bagi Allah. Artinya, Muktazilah lebih tahu daripada Nabi Musa. “Lihatlah bagaimana syaitan bermain-main di kapala manusia,” tulis Syeikh Hibisyi di akhir penjelasannya.

Itulah sosok Thaha Hibisyi sepengetahuanku. Ia sangat frontal terhadap “virus-virus” tauhid karena baginya masalah akidah memang tak boleh ada kompromi. Jika dalam masalah akidah umat Islam tidak tegas, maka tak ada yang bisa diharapkan lagi dari agama ini. Semoga kita dapat mengambil pelajaran dari keluasan ilmunya, ketulusan hatinya dan kegigihan jihadnya. Amin.


#Tulisan ini adalah refleksi dari kecintaan seorang fans terhadap idolanya. :)

written by: Jauhar Ridoni Marzuq

No comments:

Post a Comment