Saturday, November 5, 2011

Prinsip Tauhid dalam Berilmu

Sebagaimana jamak diketahui, umat Islam sekarang sedang berusaha untuk memajukan peradabannya. Dr. Muhammad Imarah menyebutkan dua kategori dalam proyek kebangkitan Islam ini, pertama mereka yang memulai dari politik, seperti Jamaluddin al-Afghani.  Sementara golongan kedua berangkat dari pendidikan, seperti Muhammad Abduh.

Suatu ketika Dr. Mahmud Husein, dosen filsafat Eropa, dalam perkuliahan menyampaikan bahwa ilmu kalam dan filsafat hanya menggunakan otak/akal, tapi tidak menyentuh qalb. Ibarat burung, akal atau rasio hanyalah satu sayap manusia. Satu sayap lain adalah qalb/hati atau nilai-nilai spiritualitas. Karena itu, untuk bisa terbang, manusia harus menggunakan keduanya.



Jika kita telusuri melalui kacamata pandangan hidup. Spektrum worldview barat modern tidak menyeberangi batas empiris. Sehingga hal-hal yang bersifat non-empiris dinafikan. Padahal Islam sebagai agama samawi mensyaratkan kepercayaan terhadap wujud Allah Swt., malaikat, akhirat, surga dan neraka sebagai bagian dari keimanan. Dengan kata lain, pandangan hidup Islam lebih luas karena tidak terbatas pada hal-hal empiris, namun juga mencakup non-empiris.

Oleh karena itu, dalam Islam, manusia tidak dipandang sebagai makhluk hanya yang terdiri dari jasad, tapi juga ruh. Dan sebagaimana jasad yang memerlukan nutrisi dan vitamin untuk menjaga kelangsungan hidupnya, ruh juga memerlukan nutrisi dalam bentuk yang berbeda. Sedang dalam persoalan epistemologis, Islam tidak menafikan peran akal, indera dan kalbu manusia dalam proses memperoleh pengetahuan. Ketiga sarana tersebut penting bagi manusia untuk mengetahui. Banyak ayat dalam al-Quran yang menyuruh manusia untuk menggunakan akal, indera dan kalbunya. Afala ta'qilun, afala tubshirun, walakinnahum la yasyurun.

Meskipun demikian, al-Quran juga menggarisbawahi bahwa sumber utama pengetahuan adalah dari Allah Swt. Allamal insana ma lam ya'lam. Allamahul bayan. Wa allama aadamal-asmaa a kullaha. Karena itu perlu disadari lagi bahwa manusia tidak serta-merta mendapat limu karena ia berpikir, tapi karena Allah Swt. memberinya ilmu. Wa ma uutitum minal ilmi illa qalilan. Wala yuhituna bi ilmihi illa bima syaa'.

Lalu untuk apa manusia menuntut ilmu?

Pertama kali perlu ditekankan lagi bahwa tujuan “menuntut ilmu” tidak lepas dari tujuan besar penciptaan manusia, yaitu penghambaan terhadap Allah Swt. Karena itu menurut Imam Ghazali, tujuan utama seseorang menuntut ilmu adalah hidayatullah, hidayah dari Allah Swt. Dengan demikian, Imam Ghazali telah menjelaskan hubungan yang erat antara kegiatan menuntut ilmu dan ibadah. Ghazali juga telah menerangkan dimensi rabbani dalam ilmu, tidak melulu materialistik.

Maka tak heran apabila kita sering mendengar sebuah adagium "man izdaada ilman wa lam yazdad hudan, lam yazdad minallahi illaa bu'dan".  Barangsiapa yang bertambah ilmunya, namun tidak semakin dekat kepada Allah Swt., berarti ia sedang menjauh-Nya. Selain itu, Imam Ghazali dalam bidayatul hidayah banyak sekali mencantumkan ibadah ritual yang dianjurkan kepada para penuntut ilmu. Tujuan ibadah tersebut tak lain adalah untuk membangun hubungan spiritual antara sang penuntut ilmu dengan Sumbernya. Dengan demikian, Allah Swt. menjadi awal (tempat ilmu berasal) dan akhir (tujuan ilmu). Allah Swt. menjadi poros bagi kegiatan keilmuan sebagai perwujudan prinsip tauhid.

Setelah konsep dasar ini tertanam dalam pribadi seorang muslim, ia kemudian dituntut untuk mengamalkannya. Pengetahuan akan sebuah ilmu tidak lantas membuat orang tersebut mengamalkan ilmunya. Pandangan ini dapat kita cermati dari ayat '… kabura maqtan …'. Karena itu, menurut hemat penulis, istilah 'ilmu yang bermanfaat' tidak bisa dipahami secara literal. Manfaat yang terkandung dalam ilmu masih bersifat potensial. Ibarat korek gas, perlu pemantik untuk membuatnya menyala dan membara. Pemantik itu adalah amal, dan panas adalah manfaatnya. Tanpa pemantik, gas itu tidak berguna. Seseorang harus mencari ilmu dahulu, kemudian berjibaku untuk mengamalkannya. Atau dengan kata lain, 'ilmu yang bermanfaat' merupakan hasil akhir.

Wallahu a'lam bisshawab.

#Angga Prilakusuma

2 comments:

  1. Mu’adz bin Jabal –radhiyallahu ‘anhu- mengatakan,

    العِلْمُ إِمَامُ العَمَلِ وَالعَمَلُ تَابِعُهُ

    “Ilmu adalah pemimpin amal dan amalan itu berada di belakang setelah adanya ilmu.” (Al Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Mungkar, hal. 15)

    Ulama hadits terkemuka, Al Bukhari berkata, “Al ‘Ilmu Qoblal Qouli Wal ‘Amali (Ilmu Sebelum Berkata dan Berbuat)” Perkataan ini merupakan kesimpulan yang beliau ambil dari firman Allah ta’ala,

    فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ

    “Maka ilmuilah (ketahuilah)! Bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu.” (QS. Muhammad [47]: 19)

    Dalam ayat ini, Allah memulai dengan ‘ilmuilah’ lalu mengatakan ‘mohonlah ampun’. Ilmuilah yang dimaksudkan adalah perintah untuk berilmu terlebih dahulu, sedangkan ‘mohonlah ampun’ adalah amalan. Ini pertanda bahwa ilmu hendaklah lebih dahulu sebelum amal perbuatan.

    Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berdalil dengan ayat ini untuk menunjukkan keutamaan ilmu. Hal ini sebagaimana dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam Al Hilyah ketika menjelaskan biografi Sufyan dari jalur Ar Robi’ bin Nafi’ darinya, bahwa Sufyan membaca ayat ini, lalu mengatakan, “Tidakkah engkau mendengar bahwa Allah memulai ayat ini dengan mengatakan ‘ilmuilah’, kemudian Allah memerintahkan untuk beramal?” (Fathul Bari, Ibnu Hajar, 1/108)

    Al Muhallab rahimahullah mengatakan, “Amalan yang bermanfaat adalah amalan yang terlebih dahulu didahului dengan ilmu. Amalan yang di dalamnya tidak terdapat niat, ingin mengharap-harap ganjaran, dan merasa telah berbuat ikhlas, maka ini bukanlah amalan (karena tidak didahului dengan ilmu, pen). Sesungguhnya yang dilakukan hanyalah seperti amalannya orang gila yang pena diangkat dari dirinya.” (Syarh Al Bukhari libni Baththol, 1/144)

    Ibnul Munir rahimahullah berkata, “Yang dimaksudkan oleh Al Bukhari bahwa ilmu adalah syarat benarnya suatu perkataan dan perbuatan. Suatu perkataan dan perbuatan itu tidak teranggap kecuali dengan ilmu terlebih dahulu. Oleh sebab itulah, ilmu didahulukan dari ucapan dan perbuatan, karena ilmu itu pelurus niat. Niat nantinya yang akan memperbaiki amalan.” (Fathul Bari, 1/108)

    ReplyDelete
  2. Terima kasih banyak atas tambahan-tambahannya.

    Regards,

    Redaksi Kajian Nun Center

    ReplyDelete