Sunday, November 6, 2011

Saat Sains Mengutuk Agama

Prolog / Masalah
Dalam edisi Ahad (20/2) kemarin, Koran Tempo memuat sebuah artikel yang menegaskan bahwa semestinya, agama tidak mencampuri sains. Tidak saja karena ia berbeda, tapi kedua entitas ini saling bertentangan. Iones Rakhmat menuliskan, “Sains modern lahir bukan dari kegiatan mengkaji kitab suci apa pun, melainkan dari eksperimentasi, dari observasi atas segala fenomena alam, dan dari kegiatan berpikir yang logis, mendasar, runtut, analitis, konsisten, dan koheren. Kitab-kitab suci disusun berdasarkan suatu iman kepada keberadaan makhluk-makhluk adikodrati (Allah, misalnya), tanpa suatu bukti empiris apa pun yang membenarkan klaim imaniah ini.”



Dan ia pun dengan tegas menyatakan di akhir tulisan kolomnya bahwa, “Kenyataannya, sains bergerak masuk ke wilayah-wilayah yang dulu hanya dikuasai oleh agama, dan merebutnya dari tangan para agamawan. Maka, para agamawan harus bekerja keras mencari jalan-jalan lain.”
Iones Rakhmat bukan satu-satunya pengamat yang mempertentangkan antara agama dan sains. Fisikawan besar Stephen Hawking, dalam bukunya The Grand Design, termasuk saintis yang juga mengkritik dogma agama, dan sikap para agamawan. "Tidak perlu membawa-bawa Tuhan seolah-olah Ia yang memicu terciptanya alam semesta," tulis Hawking sebagaimana dikutip Kompas.com

Pertentangan keduanya pun menimbulkan beberapa aliran baru dalam dunia teologi, selain atheis, muncul agnotis dan free wil, untuk menyebut beberapa contoh.

Beberapa kalangan lain, justru mencoba membangun jembatan tersebut. Salah satunya yang sering dikutip adalah pendapat Ian G. Barbour. Ilmuwan Amerika dan pengamat sains dan agama ini mencoba membangun sebuah jembatan antara keduanya. Salah satu jalan yang ia lakukan adalah dengan memetakan tipologi pemikiran antara kaum saintis dan agamawan.

Di kalangan Muslim sendiri sering kita dengar nama-nama semisal, Harun Yahya, Naquib al Attas, Dr. Zaghlul Najjar dan Bruno Guiderdoni. Adapun dari produk lokal kita dapati nama-nama seperti Ari Ginanjar Agustian dan Agus Mustofa. Dan sejatinya, bila kita ingin menuliskannya, akan kita temui bahwa hampi rseluruh ilmuwan Islam tidak pernah mempertentangkan hal ini.

Lantas yang menjadi pertanyaan, pada hakikatnya apakah benar keduanya bertentangan? Dipertentangkan, dan atau justru ter-bertentangan?

Agama dan Sains
Pertentangan antara agama dan sains bukanlah persoalan baru. Masalah ini bahkan sudah muncul sejakera Aristoteles. Di mana ketika itu, Aristo menolak pandangan Geosentris yang diajarkan oleh Injil. Hanya saja ketika itu, pertentangan tidak sampai menimbulkan korban. Tapi setidaknya, Aristoteles dan ajarannya sempat dikucilkan oleh Gereja. Kasus lain yang paling terkenal adalah kasus inkuisisi Galileo Galilei, yang menegaskan hukum Heliosentris.

Namun tak dapat dipungkiri pula, bahwa beberapa ilmuwan juga serta merta menjadi agamawan. Salah satu yang dapat kita sebut adalah pakar Fisika, Albert Einstein. Ia berkata bahwa, “Sains tanpa agama buta, dan agama tanpa sains pincang.”

Begitu juga Isaac Newton yang mendukung keberadaan Tuhan di balik kesempurnaan alam. Ia mengatakan bahwa, tidak mungkin alam ini bisa terwujud dari sebuah chaos / acak.

Lantas bagaimana sains dan agama kemudian disikapi berbeda?

Pada dasarnya, sifat dari sains dan agama adalah sama. Yaitu berusaha menemukan dan memahami realitas yang ada. Mencoba mencari sebuah kebenaran. Meskipun memang, karakter dan objek yang digelutinya berbeda, demikian ungkap Guiderdoni. Lebih lengkapnya ia menuliskan begini;

1. Bahwa sains menjawab pertanyaan “bagaimana”, sedangkan agama menjawab pertanyaan “mengapa”.
2. Sains berurusan dengan fakta, sedangkan agama berurusan dengan nilai atau makna.
3. Sains mendekati realitas secara analisis, sedangkan agama secara sintesis.
4. Sains merupakan upaya manusia untuk memahami alam semesta yang kemudian akan mempengaruhi cara hidup kita, tetapi tidak membuat kita menjadi manusia yang lebih baik. Sedangkan agama adalah pesan yang diberikan Tuhan untuk membantu manusia mengenal Tuhan dan mempersiapkan manusia untuk menghadap Tuhan.

Sekilas bila kita lihat, maka pendapat Guiderdoni ini juga banyak diamini oleh para saintis. Seperti misalnya, identifikasinya soal objek sains yang berupa alam dan objek agama yang berupa ajaran atau pesan dari Tuhan. Para saintis, ketika memberikan definisi sains, juga tak melepaskannya dari keterikatan alam. Karena memang, bahasan dari sains adalah dunia empiris yang notabenenya adalah alam kita ini.

Akan tetapi, benarkah objek dari agama sama sekali bukan alam? Dalam paparannya, Guiderdoni hanya menyebut bahwa objek dari agama adalah pesan Tuhan. Benarkah pesan dari-Nya sama sekali tidak terkait dengan alam?

Untuk mengurai kebingungan ini mari kita bedah satu-satu. Pertama, apa yang dimaksud dengan agama di sini? Apakah agama sebagai doktrin/ syariat/ ilmu, sebagai akhlak/ etika, atau sebagai pandangan hidup?

Bila yang dimaksud adalah agama sebagai ilmu, maka sejatinya tak ada bedanya dengan ilmu-ilmu sains lainnya. Ia sama-sama obyektif, rasional dan dapat dibuktikan oleh siapa saja. Hanya bedanya mungkin dalam ranah objek. Dan ini wajar, karena setiap disiplin ilmu pun memiliki objek bahasan yang berbeda. Dan bahasan dalam ilmu agama, lebih sering terkait dengan humaniora. Pun ia termasuk salah satu cabang disiplin ilmu sains bukan?

Namun bila yang dimaksud adalah agama sebagai etika, maka paparannya sama dengan yang ditulis Guiderdoni di atas. Ilmu dan agama saling beririsan. Bahkan bisa dikatakan, idealnya ilmu adalah bagian dari agama (baca: etika). Artinya, bahwa sejauh apapun ilmu menuju, etika dan ajaran-ajaran tersebut harus tetap ada menyelimutinya.

Dan bila yang dimaksud adalah agama sebagai pandangan hidup, maka poin-poinnya tak berbeda jauh dengan kapasitasnya sebagai etika.

Dalam Islam, ternyata sama sekali tidak dipisahkan. Bahkan, perbincangan mengenai alam, sains dan ilmu pengetahuan empiris juga menjadi salah satu poin penting ajaran agama ini. Mari kita lihat, ayat yang pertama kali turun, QS. Al-Alaq, ayat 1-5. “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan.”

Satu perintah tentang bagaimana seharusnya kita memahami sebuah realitas, pencarian, dan pembacaan. Yaitu pencarian ilmu dan kebenaran dengan syarat; yang diikat dengan ketauhidan (iman) dan juga perintah untuk melihat yang empiris sebagai dasar pengetahuan.

Ternyata, ketika berbicara keterkaitan ilmu dan agama, Islam sama sekali tidak memisahkan keduanya. Bahkan keduanya diperintahkan berjalan beriringan. Agama terlibat dalam ilmu. Dan ilmu tidak serta merta meninggalkan agama.

Hal ini bisa terjadi karena, dalam Islam.. segala ilmu dan pemahamannya berasal dari Dzat yang satu. Allah lah yang mengajari manusia, memberinya pengetahuan tentang realitas. Dan karena bersumber dari yang satu, maka mustahil didapat perbedaan dan pertentangan. Dan kalaupun pertentangan mungkin terjadi dari sumber yang sama, akan tetapi hal tersebut mustahil bagi Allah swt. Tidak lain karena, bila terjadi pertentangan berarti telah terjadi kesalahan atau kebohongan. Dan keduanya mustahil bagi Allah.

1 comment:

  1. Bagus tulisannya mas bro, cuman sy ingin meneliti lebih jauh dasar rujukannya, tolong di footenote daftar pustakanya sehingga tulisan antum punya sandaran ilmiyah yang betul-betul akurat. Syukron. bls ke email sy mas bro kalo sudah ada penyempurnaan tulisan antum. Email sy andymas165@gmail.com

    ReplyDelete